Wednesday, May 19, 2010

Selimut Debu

Selimut Debu
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-5285-9)
Saya berpikir bahwa ketertarikan Agustinus pada Afghanistan justru dipicu oleh berita siaran berita televisi pada Maret 2001 yang mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Seperti yang dia tuliskan dalam prolog buku ini.


Afghanistan, sebuah nama yang terus bergaung di sudut benak. Gunung gersang, padang kering, langit biru kelam. Ada jutaan perempuan dikurung dalam rumah dan kerudung burqa, pria dan anak-anak yang menggantungkan nasib pada hidup yang diiringi gumpalan debu, desing peluru, dan semerbak mesiu. Ada pula yang terengah melakukan perjalanan panjang di atas truk, gerobak, keledai, atau tanker bobrok melintasi perbatasan negeri.


Patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Lalu, siapa pula Taliban? Saya memandang lekat-lekat televisi yang menyiarkan orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam dan berserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Ada yang menghujat, ada yang memuja. Taliban adalah fenomena pergantian milenium. Di kala kita merayakan dengan pesta kembang api dan perhelatan akbar, nun jauh di sana, orang-orang bereserban itu meneriakkan penegakan sebuah emirat di atas puing reruntuhan perang.

Di awal perjalanan ke Afghanistan, sepertinya Agustinus akan melaluinya seperti turis-turis nekat lainnya yang 'sekedar ingin melihat' Afghanistan. Berhasil memasuki Afghanistan sudah seperti pencapaian istimewa. Menyaksikan Afghanistan seperti apa yang ada di bayangannya sebelum berangkat. Dan dia berhasil berdiri di hadapan sisa-sisa puing patung Buddha raksasa yang dihancurkan Taliban di Bamiyan. Hingga dia bertemu seorang pria pelancong dari Jepang yang dia gambarkan dengan wajahnya yang serius, tak ada senyum di bibirnya. Jenggot tipis yang menghiasi wajah lancipnya membuat ia mirip filsuf konfusius. Matanya segaris, suram. Kulitnya putih, namun tak terawat, tercoreng debu di sana-sini. Pria Jepang ini berbalut shalwar qamiz kumal. ditambah selimut yang melintang di pundaknya. Dia lah yang mengenalkan dan menunjukkan Agustinus jalan menuju Wakhan. "Wakhan? Tempat apa itu?"

"Itu adalah surga yang tersembunyi. Di peta ini bisa kau lihat. Wakhan itu di sini," katanya seraya menunjuk tanah sempit menjulur panjang di barat laut peta Afghanistan, "diapit Tajikistan, Cina dan Pakistan. Begitu terpencil dan terlupakan. Sebuah surga di ujung dunia, terkunci waktu."

"Untuk mencapainya," lanjut si pria Jepang, "kau harus melintasi Kunduz, Taloqan, sampai Badakhshan. Paling tidak butuh empat hari perjalanan dari Kabul."

Lelaki Jepang ini sudah berkelana ke pelbagai penjuru Afghanistan, dari utara, tengah, hingga ke selatan. Semuanya dengan mencegat kendaraan di jalan. Tak pernah dia tinggal di penginapan, selalu di kedai teh, yang konon selalu menyediakan tempat bermalam gratis bagi siapa pun yang makan di sana. Meskipun saya tak bisa membayangkan tidur di tempat seperti ini. Karpetnya jorok. Lalatnya ratusan, berdenging-denging ribut bak orkestra sumbang. Belum lagi kalau harus dipaksa makan di sini hanya demi menginap gratis. Sudah berhari-hari saya kena diare, gara-gara menyantap daging kebab Afghan. Daging kambing yang seharusnya merah segar, semua tampak hitam dikerubungi lalat. Selain debu, makanan itulah yang menjadi santapan sehari-hari di negeri ini.

Pria Jepang itu masih menunjukkan tempat-tempat mahaindah di peta robeknya. Ada Salang Pass yang menurutnya adalah jalur gunung terindah yang pernah ia lintasi, di samping Karakoram di Pakistan dan Leh di Kashmir. Saya merasa ikut bertualang bersamanya dalam angan, mengembara melintasi kota-kota kuno yang ditunjukkannya di atas peta.

Berkeliling Afghanistan dengan menumpang truk, menginap gratis di kedai teh kumuh, berkawan dengan dengungan lalat gemuk, mengunjungi dusun terpencil di balik gunung, mencari Firdaus yang tersembunyi, semuanya itu tiba-tiba menjadi mimpi saya di malam-malam berikutnya. Hari itu, dalam sebuah kedai teh Bamiyan yang penuh lalat dan debu, saya terinisiasi.

Khaak, dalam bahasa Dari dan Pashto, berarti debu. Debu yang menyelimuti seluruh penjuru Afghanistan, menjadi makanan sepanjang hari, mengalir bersama embusan napas. Tak ada yang bisa lari dari khaak. Kerudung pria Afghan tidak menghalangi khaak. Khaak terbang menembus kisi-kisi burqa yang membungkus kaum perempuan. Bulir-bulir debu mengalir bersama angin, menyelinap melalui setiap rongga udara, langsung menembus ke sanubari.

Tak hanya debu, khaak juga berarti tanah kelahiran, tumpah darah, segenap hidup dan mati. Debu yang beterbangan dari utara hingga ke selatan, dari timur hingga ke barat, menyelubungi negeri Afghan, menyuapi manusianya, memberi embusan hidup sekaligus mencabutnya. Ia juga berarti watan, negeri leluhur, akar sejarah dari generasi ke generasi. Ia adalah kebanggaan sebuah bangsa yang angkuh, gagah, tak terkalahkan, yang menguak dari kepulan kegersangan. Kita menyebutnya "tanah air", Afghanistan menyebutnya kepulan debu. Khaak adalah liang lahat. Kepada khaak, bulir-bulir debu, semua perjuangan Afghan ini akan kembali.  Khaak adalah Afghanistan

Buku Selimut Debu ini membawa kita merasa ikut bertualang dalam angan bersama Agustinus, mengembara melintasi kota-kota kuno, tempat terpencil dengan keberagaman kehidupan warga Afghanistan. Perasaan yang sama yang mungkin dirasakan Agustinus ketika mendengar pria Jepang itu   berkisah tentang tempat-tempat yang dikunjunginya di Afghanistan.



Wassalam,
Takbir

No comments: